Catatan Mei 1998

Catatan 14-15 Mei 1998

M. Aris Nurcholis

Saya ingat pada tanggal itu di Kota Solo terjadi kerusuhan massal dan penjarahan bernuansa anti etnis china. Selama hari Kamis-Jumat, 14-15 Mei itu, tidak seorang pun aparat keamanan (polisi) terlihat di jalanan. Hanya beberapa personil kopassus menjaga kediaman/tempat usaha milik konglomerat etnis cina. Pada hari itu bertepatan dengan saat ujian II di Fakultas ekonomi UNS karena dulu dalam satu semester ujian 3 kali. Jam satu siang saya berangkat ke kampus di kentingan melewati Purwosari Junction ke timur jl. Slamet Riyadi, sampai ke Nonongan, Monumen Pers, Stasiun Balapan sampai perempatan Panggung lalu lintas masih normal. Walaupun beberapa pot besar di tengah jalan digulingkan. Saya menduga mungkin ini ulah sebagian demonstran anti Orde baru yang bergerak dari kawasan UMS Pabelan ke Balaikota, Gladak. Memang beberapa hari terakhir demonstrasi menuntut penurunan Soeharto semakin masif terutama di kampus UNS dan UMS. Sesampai dikampus ada pengumuman Mata kuliah yang hendak diujikan diundur. Saya langsung pulang

Rupanya aksi yang dimulai sejak siang hari tadi masih berupa perusakan pot dan rambu lalu lintas memasuki jam tiga sore berangsur-angsur menjadi aksi perusakan toko dan pembakaran. Hari itu kaum miskin Surakarta “berpesta”. Di Jalan dr. Rajiman di depan pasar Jongke ratusan manusia lalu-lalang dengan bebasnya, melakukan apa yang kemudian disebut dengan penjarahan. Ada yang menggotong TV, Kulkas, Tape (bila yang baru dibakar toko elektronik). Ada yang menuntun motor, ada yang membawa sekarung busi dan onderdil(rupanya sebuah bengkel dan dealer baru saja dibongkar dan akan segera dibakar. Ada pula yang membawa helm banyak sekali (sebuah gudang toko helm baru saja dibakar). Ada yang mengangkuti barang jarahan dengan becaknya, naik sepeda motor, sepeda onthel, gerobak atau jalan kaki. Semua orang (pribumi) kelihatan sibuk bergembira(? ).

Namun ada hal yang tidak biasa pada pemandangan itu, seorang tukang becak setengah baya duduk dipinggir jalan, diam saja menyaksikan kawan-kawan, tetangganya mengangkuti barang gratisan. Saya kenal betul orang itu, rumahnya hanya berjarak 4 rumah dari rumah saya. Anaknya banyak dan termasuk salah satu penduduk paling miskin dikampung saya. Saya ingat waktu kecil sering bermain di halaman rumahnya dengan anak-anaknya yang hampir semuanya hanya lulus SD karena tak mampu bayar sekolah.

Yang menarik saat itu, yaitu ketika saya tanya ke Bapak Tukang Becak tadi : Pak, kenapa tidak ikut yang lainnya ? maksud saya, mengambil barang-barang ke toko. Tukang becak ini menjawab, “Mas, walaupun saya ini orang miskin, Saya tidak akan memberi makan anak-anak Saya dari barang yang bukan menjadi hak saya”.

Saya tidak menyangka bahwa ditengah sulitnya kehidupan dan himpitan ekonomi sebagai akibat krisis moneter dan krisis sosial tahun 1997-1998, masih dijumpai orang-orang miskin dengan hati seperti tukang becak tadi. Bayangkan saja, Barang barang dan kebutuhan yang selama ini hanya bisa dilihat lewat kaca etalase toko saat itu bisa diambil dengan mudah tanpa ada yang melarang. Mulai bahan pangan kebutuhan pokok sampai barang elektronik dan sepeda motor. Kalau mau pada hari tiu dendam dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun terhadap para tauke dan juragan yang pelit bisa dilampiaskan dengan membakar atau merusak toko dan rumah mereka. Sampai sekarang pun saya amat sangat jarang menjumpai lagi orang seperti itu.

Beberapa hari setelah peristiwa itu muncul analisa bahwa dalam kejadian Mei kelabu itu ada pelaku penggerak kerusuhan yang disusupkan untuk memprovokasi masyarakat agar melakukan anarkisme. Banyak saksi yang melihat orang-orang berperawakan tegap dan rambut cepak memprovokasi dan mengkomando aksi perusakan. Tapi menurut apa yang saya saksikan bahwa memang tindakan anarkisme itu terjadi secara spontan, saya bertemu dengan teman lama saya pemilik sebuah percetakan kecil di Solo yang ikut bergerak dari toko ke toko berteriak memberikan komando : bakar, bakar, bakar! Beberapa pemuda tetangga saya ternyata juga yang mengawali aksi perusakan dan akhirnya pembakaran sebuah supermarket . Ketika beberapa hari kemudian saya bertemu mereka dan menanyakan apakah ada yang melihat sosok-sosok provokator saat kerusuhan itu? Dijawab tidak ada. Jadi kenapa ikut-ikutan membakar? Saya bertanya. Jawabnya, Karena atmosfernya memang menghendaki seperti itu, solidaritas kerumunan. Disamping itu memang ada kebencian dan dendam terhadap kesenjangan ekonomi terhadap etnis tertentu. Harga bensin naik, harga kebutuhan pokok meroket, PHK dimana-mana, mahasiswa ditembaki, demonstrasi tiap hari dan Michael Camdesus tertawa-tawa.

Komentar

Postingan Populer