GUNAWAN WIBISONO, PATRIOT ATAUKAH PENGKHIANAT



Oleh : M. Aris Nurcholis

Yang paling menarik dari menyaksikan pertunjukan wayang adalah ajaran-ajarannya tentang arti hidup yang senantiasa muncul dari kisah tokoh-tokohnya. Selalu saja ada pelajaran yang bisa saya renungkan bila selesai menonton suatu pertunjukan wayang (kulit).

Ramayana VS Rahwana
Gunawan Wibisono adalah adik Prabu Rahwana yang bertahta di Kerajaan Alengka. Sementara Ramayana adalah Pangeran dikerajaan Ayodya yang kondang mempunyai istri sangat cantik, Dewi Shinta. Entah karena motif politik apa, atau karena benar-benar naksir berat dengan Dewi Shinta, Rahwana nekat menculik istri sang Rama tersebut yang sedang menjalani masa pengasingan di hutan akibat gonjang-ganjing politik di negerinya. Tentu saja perbuatan ini mengundang polemik antara 2 kerajaan besar ini.
Cerita selanjutnya adalah perang abadi antara Pasukan Ramayana yang merupakan simbol dari kebenaran didukung sepenuhnya oleh sang adik Laksmana serta balatentara kera pimpinan Hanoman versus bala tentara Rahwana (konon digambarkan bertubuh besar dalam wayang disimbolkan dengan seorang raksasa) simbolisasi dari kejahatan, didukung oleh para panglimanya, Indrajit, serta tentu saja sang adik Kumbakarna, dikenal sebagai seorang ksatria Alengka yang gagah berani. Mengapa Kumbakarna, seorang ksatria yang harusnya berdiri diatas kebenaran bersedia membela Rahwana yang jelas-jelas adalah antek dari kejahatan, diktator militer, penindas rakyat? Iya sih masih saudaranya sendiri, tetapi mengapa Kumbakarna bersedia mengangkat senjata untuk melawan pihak yang jelas-jelas dia ketahui adalah seorang ksatria dalam posisi benar dan untuk alasan benar, seorang raja yang kesohor adil bijaksana, seorang suami yang
berusaha meminta kembali istri sahnya?
Rupanya Gunawan mempunyai alasan sendiri. Karena Gunawan Wibisono adalah ksatria sejati kerajaan, maka dia haruslah seorang nasionalis sejati pula. Biarpun sang raja salah, tapi musuhnya adalah negara lain, bagaimanapun terhadap musuh asing nasionalis sejati akan membela. Right or wrong is my country, demikian mungkin penggambaran prinsip Kumbakarna meminjam istilah Adolf Hitler.
Jalan berbeda ditempuh oleh adik Rahwana yang lain, Gunawan Wibisono, yang juga seorang ksatria gagah perkasa, yang diawal perang adalah pembela Rahwana namun kemudian menyadari kekeliruan sang kakak, dan berusaha menasehati. Namun karena tidak bisa, Dia pilih menyeberang bergabung dengan Rama menumbangkan keangkaramurkaan Rahwana. Terhadap keputusan saudaranya ini Kumbakarna menghormati prinsip satria dan jika memang jalan yang berbeda maka dia akan siap berhadap-hadapan dimedan laga dengan sang adik.
Lantas status apakah yang pantas diberikan untuk dua ksatria bersaudara ini? Dalam nilai-nilai universal, tindakan Gunawan Wibisana adalah tepat. Dia tidak peduli, siapapun yang melakukan ketidakadilan atau kedzaliman adalah musuh kebenaran dan harus dilawan, tidak peduli dia kakaknya sekalipun. Tetapi dimata kaum nasionalis Alengka, tindakan nya adalah suatu pengkhianatan besar. Demikian pula tindakan Kumbakarna, dimata nilai-nilai universal adalah suatu tindakan salah membiarkan dan membela suatu kedzaliman merajalela. Tapi dimata rakyat Alengka, Kumbakarna adalah pahlawan pembela bangsa dan negara walaupun diakhir cerita Dia meninggal dalam duel melawan Laksamana adik Rama.

Sultan Hasanuddin-Aru Palaka
Kalau kita mencoba melihat sejarah bangsa ini, pada masa perjuangan melawan penjajahan belanda di Sulawesi selatan kita akan mendapati seorang pahlawan Indonesia bernama Sultan Hasanuddin, Penguasa kerajaan Makassar. Sementara sejarah mencatat pula (sebelum akhirnya di revisi) seorang yang dianggap pengkhianat bernama Aru Palaka, Raja kerajaan Bone (Bugis), yang bersedia bekerjasama dengan Belanda melawan dan akhirnya mengalahkan Hasanuddin.
Seperti terungkap kemudian, bahwa sudah lama kerajaan besar Bone berada dalam penjajahan kerajaan Makassar, bermacam perlawanan dilakukan untuk membebaskan Bone dari cengkeraman Makassar. Lantas apakah salah bila Aru Palaka memanfaatkan situasi konflik Hasanuddin-Belanda untuk menghancurkan sang penjajah? Dalam konteks Nasional Indonesia saat ini bisa dianggap Aru Palaka adalah pengkhianat besar karena berkonspirasi dengan Belanda mengalahkan pahlawan Republik Indonesia berjuluk Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin. Tetapi dalam konteks Nasional Kerajaan Bone saat itu, Hasanuddin (Makassar) adalah penjajah yang mesti dilawan, dan Belanda adalah kawan karena mereka mempunyai kepentingan yang sama terhadap Hasanuddin. Makanya konteks perjuangan keduanya melahirkan tafsiran yang berbeda bagi generasi sesudahnya, karena setelah 17 Agustus 1945 tidak ada lagi kerajaan Makassar yang. berdaulat sendiri, tidak ada lagi Kerajaan Bone yang berdiri sendiri tetapi yang ada hanyalah Indonesia.

Palembang, 2006

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer