PEMILIHAN WALIKOTA LANGSUNG,

PEMILIHAN WALIKOTA LANGSUNG,
Upaya Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat
Oleh : M. Aris Nurcholis

Tema tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) saat ini menjadi isu paling menarik bagi masyarakat terutama kalangan politisi lokal, mahasiswa dan sejumlah Non Government Organization (NGO) /LSM. Dengan ditetapkannya UU. No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 22 tahun 1999, mulai bulan Juni tahun 2005 nanti di seluruh Indonesia akan berlangsung Pilkada langsung di 13 provinsi dan 225 kabupaten/kota. 17 diantaranya di Jawa Tengah termasuk Kota Surakarta. Bagi kalangan pro demokrasi, momen Pilkada yang baru pertama diadakan kali ini memiliki dua arti penting : pertama adalah sebagai langkah awal menuju konsolidasi demokrasi dan kedua, adalah sebagai langkah awal upaya konsolidasi masyarakat sipil. Kedua upaya tadi bertujuan merebut kembali kedaulatan rakyat.

Pilkada dan proses delegitimasi Parpol
Mengapa konsolidasi demokrasi dan masyarakat sipil ?
Praktis pasca Pemilu 2004 kemarin, upaya konsolidasi demokrasi dalam bentuk pendidikan politik yang seharusnya menjadi kewajiban partai-partai politik, minim sekali atau bahkan tidak pernah dilakukan. Seperti pemilu yang sudah-sudah, begitu hiruk-pikuk pemilu selesai, partai/caleg yang kalah ataupun yang menang beramai-ramai meninggalkan konstituennya. Apa yang dulu pernah dijanjikan dalam kampanye sekali lagi dicoba sedang/akan diingkari. Padahal sebenarnya masa pasca Pemilu 2004 serta sebelum Pilkada 2005 adalah masa yang paling tepat bagi parpol untuk melakukan pendidikan politik dengan cara melakukan konsolidasi pengurus sampai tingkat paling bawah serta konstituen. Melakukan evaluasi dan memberikan pengertian tentang demokrasi yang sesungguhnya sebagai upaya mewujudkan masyarakat sipil yang bermartabat. Tidak terkecuali di Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Surakarta.
Jika Parpol termasuk PAN masih memandang konstituen dengan cara lama seperti itu, bukan tidak mungkin pada Pemilu berikutnya PAN tidak akan diminati para pemilih. Bukan hanya itu, yang lebih mengerikan lagi adalah ketika rakyat sudah tidak lagi percaya kepada Partai Politik. Kita melihat saat ini sedang terjadi usaha untuk melakukan semacam kampanye agar rakyat tidak lagi mempercayai partai politik sebagai saluran politik kenegaraan mereka. Usaha delegitimasi semacam itu semakin diperkuat dengan adanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD di beberapa daerah Indonesia. Ditambah lagi adanya beberapa kasus persengketaan di dalam intern parpol sendiri baik dipusat (DPP) ataupun di daerah-daerah (DPW-DPD-DPC). Jika rakyat benar-benar sudah tidak percaya lagi kepada partai politik (proses delegitimasi) tentunya akan sangat mengkhawatirkan proses keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang tengah kita bangun bersama. Karena dalam sistem politik ketatanegaraan, parpol adalah penyangga utama demokrasi.

Pilkada : Mampukah melahirkan walikota bersih?
Beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam UU No. 32 tahun 2004 terkait dengan Pilkada (Pasal 56 s/d 119) adalah bahwa (1) Pencalonan kepala daerah menutup rapat munculnya calon-calon independen di luar parpol, karena UU mengamanatkan pencalonan kepala daerah hanya melalui satu pintu, yaitu parpol. (2) Tidak adanya pertanggungjawaban kepala daerah terpilih langsung atau tidak langsung kepada konstituennya. Hal ini karena UU ini menyatakan bahwa kepala daerah yang telah terpilih melalui pilkada bertanggung jawab kepada menteri dalam negeri. Bukan kepada rakyat pemilihnya ataupun wakil mereka yang duduk di DPRD. Dalam hal ini, rakyat dipersilakan memilih langsung calon kepala daerahnya, tetapi setelah dia terpilih sama sekali tidak ada mekanisme rakyat untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah terpilih diakhir masa jabatannya.
Kasus berubahnya format laporan pertanggungjawaban Walikota Surakarta (LPjAMJ) menjadi hanya Laporan Keterangan Akhir Masa Jabatan (LKAMJ) menjadi salah satu preseden buruk akan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah terpilih nanti. Termasuk yang terjadi pada kasus surat kawat Gubernur Jateng sehubungan berakhirnya masa jabatan bupati Sukoharjo tanggal 5 Pebruari yang lalu. Bila menggunakan format LPJ walikota/bupati (UU No. 22/1999), apabila ternyata kinerja bupati/walikota tidak benar, rakyat setidaknya melalui wakilnya di DPRD, masih bisa melakukan pengkritisan terhadap kinerja kepala daerah. Bahkan kalau kinerjanya benar-benar jeblok, DPRD berhak melakukan penolakan terhadap LPJ yang konsekuensinya pada periode berikutnya kepala daerah yang bersangkutan dilarang mencalonkan diri kembali dalam pilkada.
Lantas jika tidak ada mekanisme pertanggungjawaban terhadap pemilih seperti ini, siapa yang bisa menghentikan apabila kepala daerah bertindak korupsi, kolusi dan nepotisme atau tindak-tindak penyelewengan lain. Lengkaplah sudah peran kepala daerah sebagai raja-raja kecil di daerah. Cukuplah bagi dia mengamankan posisinya dengan memberikan service/upeti pada para atasannya (gubernur, mendagri atau presiden). Dan “selamat tinggal pemilih ! salah sendiri dulu pilih saya..”
Sementara itu, dengan adanya mekanisme satu pintu dalam pencalonan kepala daerah, elite parpol lokal dengan mudah melakukan tawar menawar dengan mereka. Siapa mampu bayar paling besar, itu dia yang akan dicalonkan. Alhasil, hanya orang kaya saja yang mampu menjadi cawali. Tidak peduli track recordnya, kapabalitasnya, atau moralnya. Yang penting punya dana kampanye besar dan kepentingan elite parpol dipenuhi. Dan bagi politisi lokal dari parpol yang bersih, jujur, capable, cerdas tapi tidak punya cukup gizi (duit), jangan pernah bermimpi bisa dicalonkan jadi walikota, bahkan oleh partainya sendiri. Apalagi dengan calon-calon independen, NO WAY !
Dan seperti biasanya, setelah itu akan berlakulah prilaku ekonomi. Calon yang berhasil menjadi walikota dan telah mengeluarkan banyak modal dalam kampanye tidak akan mau rugi. Selama 5 tahun masa jabatan ke depan akan dimanfaatkan sebaik-baiknya mengganti modal yang telah keluar itu. Tentunya dengan memanfaatkan jabatannya sebagai raja kecil tadi, tentunya dengan modus yang lebih canggih lagi dibanding kepala daerah sebelumnya. Lantas, akan dikemanakan kepentingan rakyat, kepentingan konstituen?
Bagi DPD PAN kota Surakarta, saat ini masih ada waktu untuk berbenah diri. Dalam jangka dekat untuk menghadapi Pilkada mendatang, harus mempunyai mekanisme yang benar-benar demokratis, bottom up dan selalu mengedepankan moral dalam penjaringan cawali. Dilain pihak proses konsolidasi internal dan pendidikan politik harus terus dilakukan terhadap konstituen dan pengurus sampai tingkat paling bawah. Konsolidasi internal itu sangat penting sebagai wujud tanggung jawab partai terhadap konstituennya, sekaligus sebagai proses kaderisasi yang sehat. Dengan demikian kekhawatiran akan delegitimasi terhadap parpol tidak akan terjadi.
Momentum pilkada kali ini harus dimanfaatkan benar sebagai langkah awal untuk merebut kembali kedaulatan rakyat menuju terwujudnya clean and good governance, dan bangsa yang baldatun thoyyibatun warabbun ghaffur. (ARS)

Maret 2005

Komentar

Postingan Populer