Kasus Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok

Analisis Etika dan Hukum pada Kasus Dwelling Time
di Pelabuhan Tanjung Priok



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi dan perilaku bisnis (Velasquez dan Manuel, 2005). Bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Pelabuhan Tanjung Priok adalah penggerak perekonomian nasional karena didalamnya berlangsung proses-proses bisnis yang outputnya akan mengalir ke seluruh Indonesia. Tanjung Priok adalah pelabuhan terbesar di Indonesia tempat sebagian besar aktivitas ekspor dan impor barang dilakukan. Sebagian besar aktivitas itu menggunakan petikemas yang proses pengelolaannya tentu tidak sederhana. Pengelolaan pelabuhan yang rumit tidak hanya melibatkan satu entitas saja yaitu PT Pelindo II yang punya wewenang sebagai otoritas pelabuhan, tetapi juga melibatkan banyak entitas lain baik pemerintah maupun swasta.
Kasus dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok mulai mencuat pada saat Presiden Jokowi kembali ke Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka inspeksi mendadak (sidak) tanggal 17 Juni 2015. Dalam sidak ini presiden marah karena sudah lebih dari 6 bulan belum ada perubahan waktu bongkar muat/dwelling time. Padahal enam bulan sebelumnya Presiden menargetkan kisaran waktu dwelling time dari 5,5 hari menjadi 4,7 hari. Dwelling time atau masa tunggu bongkar muat adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (kontainer) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama.
Dipicu oleh kemarahan presiden itulah, maka sejumlah kementerian dan lembaga terkait langsung melakukan reaksi termasuk juga kepolisian RI yang membentuk tim khusus untuk menyelidiki adanya dugaan suap dan gratifikasi terhadap pejabat yang terlibat dalam proses-proses dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.

Masalah yang akan dirumuskan pada tulisan ini adalah bagaimana menjelaskan kronologi kasus Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok serta mencoba menganalisis kasus Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok hubungannya dengan pelanggaran Norma Hukum. Tulisan bertujuan untuk menjelaskan kronologi terjadinya kasus Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok serta untuk menganalisis kasus Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok hubungannya dengan pelanggaran Norma Hukum



TINJAUAN PUSTAKA
Etika Bisnis
Etika bisnis menurut Faisal (2006) merupakan separangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan salah dalam dunia bisnis berdasarkan prinsip-prinsip moralitas, dengan arti lain etika bisnis merupakan seperangkat prinsip dan norma dimana para pelaku bisnis harus komit pada prinsip dan norma tersebut dalam bertransaksi, berperilaku, dan berrelasi agar tujuan-tujuan bisnisnya dapat tercapai dengan selamat. Selain itu, Faisal mendefinisikan etika bisnis sebagai suatu pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja.
Alasan utama perlunya etika bisnis menurut Aedy (2011) adalah bahwa dalam suatu organisasi termasuk dalam organisasi bisnis, pasti memerlukan orang-orang yang berlaku jujur, adil, obyektif, tidak korupsi, tidak fitnah, tidak provokasi, tidak ghibah, tidak khianat dan yang menghindari sifat tercela lainnya.
Dalam semua bisnis setiap keuntungan yang dicapai adalah hasil mitra dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan kebaikan dari perusahaan. Perusahaan hanya memproduksi suatu produk saja, tetapi keuntungan yang dapat diraih oleh perusahaan tergantung dari permintaan masyarakat.

Norma Hukum
Norma hukum merupakan peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.
Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara.
Menurut Agoes (2014), Pelanggaran terhadap sanksi hukum akan dikenai sanksi hukum. Sanksi tersebut bisa berupa pembayaran denda, ganti rugi, atau bahkan untuk pelanggaran yang berat bisa masuk dipenjara atau hukum mati. Sebaliknya pelanggaran terhadap etika relatif lebih ringan apabila dibandingkan dengan sanksi hukum, yaitu hanya berupa sanksi moral. Contoh sanksi moral seperti surat peringatan, denda, dan atau yang paling berat dikeluarkan dari suatu organisasi profesi.
Dwelling Time
Menurut definisi World Bank, dwelling time atau masa tunggu bongkar-muat adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (kontainer) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama. Proses yang menentukan lamanya dwelling time di pelabuhan terbagi atas tiga tahap, yakni pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance. Pre-clearance adalah proses peletakan petikemas di tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan dan penyiapan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB). Adapun customs clearance adalah proses pemeriksaan fisik petikemas (khusus untuk jalur merah), lalu verifikasi dokumen-dokumen oleh Bea Cukai dan pengeluaran surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB). Sementara kegiatan post clearance adalah saat petikemas diangkut ke luar kawasan pelabuhan dan pihak pemilik petikemas melakukan pembayaran ke operator pelabuhan. (Kasali, Rhenald, 2015)
Manajemen Dwelling Time dan YOR Pelabuhan
Manajemen Dwelling Time dan YOR (Yard Occupancy Ratio) sebuah pelabuhan memegang peranan penting dalam menurunkan atau mengefektifkan suatu komponen Biaya Logistik Pengiriman Barang. Dari berbagai analisis dan pengamatan praktisi logistik kepelabuhan, bahwasannya cara pandang instansi pemerintah terhadap manajemen Dwelling Time dan YOR terbagi dua, yakni: (1) terlalu Port Centric, atau (2) terlalu Customs Centric.
PANDANGAN CUSTOMS CENTRIC
Pandangan Customs Centric adalah masalah Dwelling Time dan YOR itu disebabkan oleh perihal lamanya pengurusan dokumen dan pemeriksaan bea cukai yang menyebabkan container mengendap terlalu lama di Quay Container Yard sehingga YOR cepat menjadi 100%, dan akhirnya tidak ada lagi lahan tersedia untuk proses bongkar petikemas untuk kapal berikutnya.
PANDANGAN PORT CENTRIC
Berdasarkan UU 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran itu dibedakan mana Otoritas Pelabuhan dan mana Operator Pelabuhan. Adapun instansi pemerintah lainnya yang terkait seperti: Kantor Kesehatan Pelabuhan, Imigrasi, Karantina dan Bea Cukai harus berada atau harus tunduk pada Otoritas Pelabuhan. Sedangkan Operator Pelabuhan adalah Pihak Penyelenggara Pelabuhan yang didefinisikan pada UU 17 Tahun 2008 sebagai BUP (Badan Usaha Pelabuhan) yang mana tanah dan lahan pelabuhan itu milik negara yang dikonsesikan kepada pihak BUP atas persetujuan Kementrian Perhubungan. Dengan demikian upaya menurunkan Dwelling Time dan YOR Pelabuhan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab Otoritas Pelabuhan.
PENYEBAB DWELLING TIME DAN YOR NAIK
Untuk menggambarkan penyebab Dwelling Time dan YOR adalah sebagai berikut:
1. Adanya ratio fisik temporary storage Quay Yard yang tidak seimbang dengan pertumbuhan throughput production bongkar muat di pelabuhan. Sekarang ini hitungan kapasitas GSL (Ground Slot) temporary Quay Yard yang tersedia itu menyebabkan Dwelling Time berada dikisaran 15 hari.
2. Tidak adanya pertumbuhan yang signifikan terhadap Pelaksana Importasi menjadi MITA Bea Cukai sehingga proses kepabeanan bertumpu pada pre-inspection yang lebih besar daripada post-inspection. Akibat dari pre-inspection ini adalah barang tertahan; tidak cepat keluar dari Quay Yard pelabuhan sehingga Dwelling Time dan YOR naik.
3. Tidak adanya kewaspadaan di lintas sektoral instansi pemerintah bahwasannya koordinasi dipegang oleh Otoritas Pelabuhan berdasarkan UU 17 Tahun 2008 dan semua harus tunduk pada Otoritas Pelabuhan. Hal ini memang naif karena Pejabat di Otoritas Pelabuhan memang terbukti kurang memahami mata rantai proses yang menyebabkan Dwelling Time dan YOR tinggi, sehingga dalam berinteraksi dengan lintas sektoral itu tidak memiliki kewibawaan dari sisi knowledge dimaksud.
4. Ketidakmampuan pemerintah menjamah Manajemen Koordinasi sesama Penyedia Jasa Logistik yang terdiri dari: Agen Pelayaran, Freight Forwarder, Perusahaan Truk dan Operator Gudang di sekitar pelabuhan agar solid berkoordinasi untuk mengambil container di Quay Yard sehingga memudahkan Operator Pelabuhan melakukan kegiatan bongkar muat karena lahan di Quay Yard tersedia dan memadai.
5. Peranan Kemenko terlalu Customs Centric sehingga usulan-usulan dan susunan matriks permasalahan itu tidak mengena sasaran yang dituju dan akibatnya Dwelling Time dan YOR tidak pernah selesai bahkan sampai bertahun-tahun.
6. Monitoring Dwelling Time dan YOR didukung oleh data yang tidak akurat, yakni: tanggal awal container mengendap itu diambil dari ETA (Estimation of Time Arrival) kapal; yang seharusnya diambil dari setiap tanggal dan jam container menyentuh Quay Yard. Adapun tanggal akhir Dwelling Time diambil dari setiap petikemas keluar GATE Quay Yard.
7. Tidak adanya koordinasi yang solid dalam Proses OverBrengen yang dapat membantu penurunan Dwelling Time dan YOR. Koordinasi dalam Proses OverBrengen melibatkan berbagai pihak Penyedia Jasa Logistik terkait, yakni: petikemas Terminal, Freight Forwarder, Perusahaan Truk dan Pengelola Gudang TPS Tujuan. (Rudy Sangian, 2014)

Gratifikasi
Adapun apa yang dimaksud dengan gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Menurut ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana.
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;


PEMBAHASAN
Analisis Pelanggaran Etika dan Norma Hukum pada Kasus Dwelling Time
di Pelabuhan Tanjung Priok


Keresahan Masyarakat
Lamanya proses Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok telah mengganggu iklim usaha di masyarakat. Selama ini, pengusaha ekspor-impor yang mengeluhkan waktu pemeriksaan oleh instansi pemerintah yang terlalu lama. Hambatan yang selama ini memperpanjang dwelling time dan menambah biaya bongkar-muat adalah antrean serta penyusunan peti kemas yang tidak tertib.
Kondisi ini diperburuk oleh perilaku sebagian pemilik peti kemas yang tidak mau menyewa gudang dan membiarkan barangnya menumpuk di pelabuhan (kemenperin.go.id). Lamanya waktu dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok berpengaruh karena menciptakan citra negatif Indonesia dimata investor asing. Selain itu, dwelling time juga berpengaruh terhadap harga barang, terutama barang yang penting bagi masyarakat yang akan menjadi lebih mahal ketika sampai ke masyarakat.
Kebijakan Pemerintah
Menghadapi permasalahan dwelling-time, Pemerintahan Presiden SBY melalui Menteri Perindustrian MS Hidayat berkomitmen mengurangi waktu bongkar-muat di pelabuhan atau dwelling time dari sepekan menjadi tiga atau empat hari. Namun, penurunan dwelling time bisa menambah ongkos bongkar-muat atau terminal handling charge (THC). Namun jikalau memang THC harus naik, akan dilakukan berdasarkan kesepakatan semua pihak dan dibandingkan dengan biaya di negara lain. Selanjutnya pemerintah melalui Menteri Perhubungan, menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 807 Tahun 2014 yang mengatur tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Tanjung Priok yaitu maksimal tujuh hari didalam pelabuhan.
Saat presiden Joko Widodo dilantik, salah satu komitmen beliau adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dimana programnya antara lain adalah pembangunan dan perluasan pelabuhan sebagai implementasi dari program Tol Laut. Saat mengunjungi pelabuhan Tanjung Priok, Presiden meminta agar lembaga dan instansi yang terkait bisa mempersingkat waktu dwelling time peti kemas dari yang selama ini di kisaran 5,5 hari menjadi 4,7 hari. Menindaklanjuti instruksi itu, Menteri Perhubungan yang baru kemudian mengubah kebijakan guna mempercepat long stay menjadi maksimal tiga hari dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor PM 117 Tahun 2015. Namun demikian, sampai pertengahan tahun 2015, dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok ternyata tidak semakin membaik. Hal inilah yang membuat Presiden marah sehingga kasus dwelling time ini mencuat di masyarakat dan menjadi isu nasional.
Permasalahan Dwelling Time
Permasalahan dwelling time disebabkan oleh empat hal utama, yaitu :
1. Masalah Kementerian/Lembaga (KL) mengenai perizinan. Terdapat sebanyak 18 KL dengan berbagai macam perizinan. Dimana hampir 51 persen dari semua produk yang diimpor ada peraturan larangan pembatasannya yang harus melewati KL-KL.
2. Pelaku usaha seperti importir, eksportir dan broker juga harus diberi edukasi karena tidak menutup kemungkinan mereka juga ingin membuat dwelling time menjadi panjang karena ada sebagian pelaku usaha yang senang karena Pelabuhan Tanjung Priok itu sampai saat ini masih digunakan menjadi tempat penimbunan barang. Padahal pelabuhan seharusnya adalah tempat bongkar muat barang.
3. Penyedia jasanya. Dalam hal ini, terdapat 13 pengusaha tempat penimbunan sementara (TPS) di Tanjung Priok. Namun jumlah tersebut telah mulai dilebur sedikit-sedikit dari jumlah sebelumnya yaitu 40 pengusaha. Sehingga pihak bea cukai berhubungan bukan dengan satu pelabuhan tapi ada 13 entitas yang harus dilayani satu per satu. Perpindahan dari satu TPS ke TPS lain itu menimbulkan biaya. sehingga apabila ingin menyelesaikan dwelling time baiknya adalah pada satu tempat seperti pada pelabuhan-pelabuhan di luar negeri.
4. Infastruktur. Pelabuhan Tanjung Priok adalah pelabuhan yang tidak steril dan memiliki dua lini. Yang satu menguasai laut laut, di sebelahnya jalan umum, di sebelahnya lagi ada lini dua. Sehingga ini merepotkan pengawas bea cukai karantina, kalau mau pindah ke lini dua sebetulnya masuk jalan umum. Adanya jalan umum di pelabuhan sebenarnya sudah tidak tepat, karena pelabuhan seharusnya steril sehingga tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya. Pelabuhan Tanjung Priok sekarang di dalamnya ada instalasi non bisnis yaitu makam Mbah Priok yang sampai sekarang tidak bisa dipindahkan dimana saat ada acara haul di makam ini, maka pada hari jumat JICT (Jakarta International Container Terminal) tutup. (Viva.co.id Selasa, 1 September 2015).
Pasca mencuatnya isu dwelling time, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, menyiapkan tujuh langkah pemangkas dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Pembenahan itu meliputi perbaikan arus barang, sistem teknologi informasi, hingga pemberantasan mafia yang selama ini bermain. Secara spesifik langkah-langkah tersebut adalah :
1. Memperbanyak jalur hijau bagi barang-barang ekspor impor yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Untuk jalur merah bagi barang yang dicurigai bermasalah akan ditekan sampai pada tingkat paling minimal. Untuk itu akan menjalin koordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
2. Meningkatkan biaya denda bagi peti kemas yang telah melewati masa simpan di pelabuhan. Selama ini tarif denda yang berlaku sangat rendah, yaitu hanya Rp 27.500 per hari per peti kemas seukuran 20 kaki. Akibatnya, sebagian pengusaha lebih suka "menyimpan" barangnya di pelabuhan ketimbang membayar sewa gudang di luar pelabuhan yang jauh lebih mahal.
3. Membangun jalur rel kereta api sampai ke lokasi loading dan uploading peti kemas. Seperi pada negara-negara maju, akses jalur rel kereta api memang sampai ke pelabuhan. Dengan akses kereta api ke pelabuhan, maka arus barang akan lebih cepat dan murah serta mengurangi beban jalan dan kemacetan lalu lintas.
4. Meningkatkan sistem teknologi informasi dalam pengelolaan terminal peti kemas. Peningkatan sistem teknologi informasi, akan mempermudah pengusaha karena bisa dengan mudah mengetahui posisi peti kemas secara detil dan akurat. Dengan demikian, proses penanganan dan relokasi peti kemas bisa dilakukan dengan cepat dan murah.
5. Menambah kapasitas crane (derek). Karena jumlah yang ada saat ini sudah tidak memadai, sehingga kurang memberi daya dukung.
6. Melakukan penyederhanaan peraturan dan perizinan yang berlaku di pelabuhan dengan menjalin koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian Perdagangan, PT Pelindo II, Kementerian Pertanian, Badan Karantina, Ditjen Bea & Cukai, Kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan lainnya.
7. Memberantas mafia yang selama ini bermain di pelabuhan, yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung telah membuat Tanjung Priok menjadi pelabuhan yang lamban, tidak efisien, dan berbiaya tinggi. Pemberantasan mafia akan bekerjasamadengan KSAL bahkan Panglima TNI untuk memberantas para mafia," ujar Rizal Ramli.(TEMPO.CO, Selasa, 25 Agustus 2015)
Menindaklanjuti langkah-langkah diatas, pemerintah membentuk gugus tugas atau task force untuk mengatasi lamanya dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok. Dengan adanya task force ini, pemerintah berharap dapat menyelesaikan persoalan dwelling time dalam tempo satu bulan. Menko Maritim dan Sumber Daya menunjuk Ronnie Higuchi Rusli, seorang mantan pejabat di Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) sebagai ketua task force itu. (Noor Aspasia, CNN Indonesia, 2015)
Kronologi kasus Dwelling Time
Walaupun dwelling time sudah menjadi isu sejak pemerintahan presiden sebelumnya, namun isu ini kembali muncul saat Presiden Jokowi memaparkan rencana tol laut dimana pelabuhan adalah salah satu ujung tombaknya. Adapun kronologi kasus dwelling time adalah sebagai berikut :
23 September 2014:
Presiden Jokowi mengunjungi Pelabuhan Tanjung Priok untuk meninjau proses pembangunan dan perluasan pelabuhan sebagai implementasi dari program Tol Laut. Dalam kunjungan tersebut Presiden meminta agar lembaga dan instansi yang terkait bisa mempersingkat waktu bongkar muat kontainer dari yang selama ini di kisaran 5,5 hari menjadi 4,7 hari.
2 Maret 2015:
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Indroyono Soesilo, menggelar rapat koordinasi bersama beberapa menteri lain untuk membahas dwelling time. Ada 18 kementerian yang siap untuk menurunkan waktu menjadi 4,7 hari. Untuk pre clearance custom 2,7 hari. Bea Cukai proses hanya berlangsung 0,5 hari. Sedangkan untuk post clearance custom sekitar 1,5 hari. Sehingga dwelling time bisa mencapai 4,7 hari dari saat ini masih sekitar 8 hari.
17 Juni 2015:
Presiden Jokowi Kembali ke Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka inspeksi mendadak (sidak) proses dwelling time. Dalam sidak ini Jokowi sempat marah karena sudah lebih dari 6 bulan belum ada perubahan waktu bongkar muat.
20 Juni 2015:
Menteri BUMN Rini Soemarno menjelaskan, pelabuhan barang memang bertanggung jawab untuk melaksanakan bongkar muat barang. Begitu juga dengan pelabuhan penumpang yang bertanggung jawab mengurus penumpang turun-naik. Diterangkan Rini, kendala penumpukan barang di pelabuhan justru sering kali bukan karena lamanya proses bongkar muat. Melainkan berbagai dokumen yang harus diurus pemilik barang untuk mengeluarkan barangnya ke luar pelabuhan.
22 Juni 2015:
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II), RJ Lino, mengelak bila instansi yang ia pimpin menjadi satu-satunya yang dipermasalahkan dalam lambatnya dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia pun menegaskan‎ PT Pelindo II hanya sebagai penjamin fasilitas dan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok.
23 Juni 2015 :
Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengindentifikasi penyebab lamanya waktu bongkar muat atau dwelling time di pelabuhan. Salah satunya karena murahnya biaya timbun di pelabuhan. Murahnya biaya membuat pengusaha memilih untuk menginapkan barang di pelabuhan. Selain itu, menginap di pelabuhan dirasa lebih aman.
28 Juli 2015:
Tim Gabungan Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggeledah lantai 9 Gedung Kementerian Perdagangan di Jalan Muhammad Ridwan Rais Nomor 5, Jakarta Pusat. Diduga kepolisian sedang menyelidiki kasus korupsi terkait proses dwelling time yang terjadi di tubuh kementerian perdagangan. Sehari setelah itu Kemendag telah membebastugaskan empat pejabat, terdiri dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Eselon II, Eselon III dan Eselon IV. Pejabat tersebut sedang fokus menjalani pemeriksaan oleh polisi. Kepolisian menyita uang US$ 42 ribu (sekitar Rp 565,5 juta) dan Sin$ 4.000 (sekitar Rp 39,4 juta) dari ruangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Kepolisian menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nonaktif Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, sebagai tersangka.
Sebelumnya Kepolisian juga sudah menetapkan tiga tersangka, yaitu Kepala Subdirektorat Kementerian Perdagangan berinisial I, pegawai harian lepas berinisial MU, dan perantara berinisial N. Polda Metro Jaya menetapkan 3 orang sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan penyuapan di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan terkait dwelling time. (TEMPO.CO, JUM'AT, 31 JULI 2015 | 07:40 WIB)
Dugaan Pelanggaran Pidana Korupsi
Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, menyatakan masih ada pengusaha yang menggunakan perusahaan jasa untuk mengurus proses perizinan impor di pelabuhan yang bisa “menciptakan permainan". Lamanya waktu bongkar muat tidak akan terjadi jika pengusaha lebih dulu menyelesaikan proses perizinan impor. Otomatis, Bea Cukai segera mengeluarkan surat pengambilan barang. Diduga, adanya permainan yang memanfaatkan dwelling time ini dilakukan oleh oknum-oknum di Kementerian Perdagangan.
Polda Metro Jaya akan meminta keterangan dari 18 kementerian yang berkaitan dengan proses penyidikan kasus ini. Di mana fokus dari Satuan Tugas Khusus Polda Metro tertuju pada tahap pre clearance dalam dwelling time. Dari 18 Kementerian itu, diakui setidaknya ada 114 perizinan yang sebagian besar memang dipegang Kemendag. (Liputan6.com By Audrey Santoso, 01 Agu 2015 at 14:45 WIB).
Saat dikonfirmasi kepada UH selaku direktur PT U, dia mengaku bahwa perusahaannya tidak pernah memberikan uang ke Partogi. tersangka berinisial CJ yang menjadi tersangka baru kasus impor garam memiliki jabatan tinggi di perusahaan PT Garindo. PT U tersebut diduga memasukkan dana kepada Partogi Pangaribuan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri di Kementerian Perdagangan. Jadi karena PT Garindo itu merupakan salah satu yang dananya masuk ke tersangka PP maka dilakukan penggeledahan dan kemudian CJ itu ditetapkan sebagai tersangka.(cnnindonesia.com/ Jumat, 28/08/2015 16:48 WIB).
Dalam perundang-undangan Bea-Cukai, ada pasal yang mengatur peti kemas akan dijadikan milik negara jika 30 hari tak kunjung diambil pemiliknya. Bisa dibakar agar pemiliknya jera. Tapi hal tersebut tak pernah terjadi, sebab tak ada anggarannya di Pelindo. (BISNIS.TEMPO.CO)
Ketua Pusat Penelusuran Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yusuf, mengatakan, praktek suap dwelling time di Tanjung Priok yang melibatkan oknum di kementerian/lembaga telah berlangsung lama jauh sebelum Polda Metro Jaya menangani kasus tersebut. Asumsinya praktik lama, dan banyak institusi kemungkinan besar mendapat bagian tapi pemain utama, yang membantu atau yang memfasilitasi belum diketahui PPATK. Untuk mengatasi praktek suap dalam dwelling time salah satunya adalah adanya pembatasan transaksi tunai agar transaksi dapat terlacak. Sedangkan untuk membongkar kasus dugaan suap itu PPATK siap membantu Polda Metro Jaya jika diminta. (Tempo.co JUM'AT, 07 AGUSTUS 2015)
Analisis Etika dan Hukum Bisnis pada kasus dwelling time
1. Lamanya waktu bongkar muat/dwelling time yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priok membuka peluang terjadinya pelanggaran norma hukum. Dalam kasus ini, oknum pejabat di Kementerian Perdagangan yang adalah PNS dan memanfaatkan situasi dengan menerima gratifikasi dan suap dari oknum pengusaha yang mengharapkan percepatan sebagian proses perijinan yang diotorisasi Kemendag. Oknum yang diduga menerima gratifikasi dan suap tersebut telah melanggar UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Walaupun diduga terdapat kasus pidana korupsi/gratifikasi, namun secara umum, lamanya waktu dwelling time belum tentu dipengaruhi oleh adanya kasus tersebut. Karena dwelling time melibatkan banyak instansi dan lembaga, proses dwelling time bukan hanya di kemendag saja.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Lamanya masa tunggu bongkar muat/dwelling time disebabkan oleh banyak faktor. tetapi faktor yang paling mempengaruhi adalah banyaknya proses perijinan yang harus dilalui untuk melaksanakan bongkar-muat peti kemas.
2. Pembenahan proses dwelling time yang akan dilakukan pemerintah meliputi perbaikan arus barang, sistem teknologi informasi, hingga pemberantasan mafia yang selama ini bermain
3. Faktor perijinan membuka peluang terjadinya pelanggaran etika/norma hukum yang dalam hal ini diduga telah terjadi gratifikasi dan suap terhadap oknum di lingkungan kementerian perdagangan.
4. Karena proses-proses perijinan dalam dwelling time tidak hanya terjadi di kementerian perdagangan saja sehingga perlu berhati-hati untuk menyimpulkan bahwa lamanya waktu dwelling time yang terjadi selama ini semata-mata hanya dipengaruhi faktor tunggal, yaitu korupsi saja. Faktor-faktor lain harus juga diperbaiki dan dilakukan usaha yang saling bersinergi antar instansi yang berwenang.

Saran
1. Untuk mempercepat waktu dwelling time yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priok yang saat ini rata-rata 5,5 hari menjadi 4,7 hari diperlukan sinergi antar kementerian/lembaga (K/L), karena percepatan proses dwelling time tidak mungkin hanya ditangani salah satu K/L saja.
2. Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pintu gerbang ekspor dan impor Indonesia harus dibangun menjadi pelabuhan yang modern dan aman untuk menunjang pengembangan perekonomian bangsa.
3. Pemerintah melalui K/L yang terkait dalam tugasnya di pelabuhan hendaknya membuat standar operasi prosedur yang dapat meniadakan atau setidaknya meminimalkan pelanggaran-pelanggaran hukum oleh aparatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aedy H. 2011. Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam. Alfabeta: Bandung.
Anonim, TEMPO.CO, JUM'AT, 31 JULI 2015 | 07:40 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Anonim. Polisi Dalami Perusahaan Lain dalam Kasus Dwelling Time. cnnindonesia.com/ Jumat, 28/08/2015 16:48 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Anonim. Temuan PPATK: Suap Dwelling Time Libatkan Banyak Kementerian, tempo.co, JUM'AT, 07 AGUSTUS 2015 | 11:28 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Anonim. Kronologi Kasus Dwelling Time, yang Jadikan Dirjen Tersangka. TEMPO.CO SELASA, 25 AGUSTUS 2015 | 05:49 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Aspasia, Noor. Staf Presiden: Dwelling Time Tersandung Prosedur Perizinan. CNN Indonesia Senin, 31/08/2015 01:02 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Faisal B, Suhendra, et. all. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Kencana: Jakarta.
Kasali Rhenald, Dwelling Time Lagi, Tersedia pada http://nasional.sindonews.com/read/1016670/18/dwelling-time-lagi-1435200342. Diakses tanggal 2 September 2015
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 807 Tahun 2014 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Santoso, Audrey. Liputan6.com, 01 Agusus 2015 jam 14:45 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Rusli, Andi. Reformasi Dwelling Time, Lino Minta Perizinan Dipangkas. BISNIS.TEMPO.CO JUM'AT, 07 AGUSTUS 2015 | 08:25 WIB. Diakses tanggal 2 September 2015
Sangian, Rudi, Manajemen Dwelling Time dan YOR Pelabuhan Serta Pengaruhnya Terhadap Biaya Logistik. Kompasiana.com/rudysangian, 25 Juli 2014 07:59:56. Diakses tanggal 2 September 2015
Siaran pers Nomor : PENG-01/BC/2015, tentang Peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Menurunkan Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor PM 117 Tahun 2015 tentang Pemindahan Barang yang Melewati Batas Waktu Penumpukan (Long Stay) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Velasquez, Manuel G. Etika Bisnis: Konsep dan Kasus (Edisi Ke-5). Diterjemahkan oleh Ana Purwaningsih, Kurnianto, dan Totok Budi Santoso, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005.

Komentar

Postingan Populer