A Night at Sriwedari


A night at Sriwedari (1)

(m. aris nurcholis)



Apabila masuk dari arah gapura depan via jalan slamet riyadi, akan menjumpai sebuah bangunan joglo terbuka yang menjadi public space bagi warga kota solo. Bangunan yang didepannya terdapat sebuah patung yang menggambarkan salah satu adegan dalam kisah pewayangan; Gatotkaca Gandrung. Malam itu rupanya tidak ada aktivitas resmi di Joglo Sriwedari, yang sewaktu mahasiswa dulu, sering kita manfaatkan untuk kegiatan-kegiatan mulai dari diskusi politik sampai kegiatan seni. Tapi bukan bangunan joglo itu yang mau saya ceritakan, tetapi bangunan lain yang letaknya dibagian belakang kawasan eks taman raja itu, kira-kira 500 langkah dari joglo yaitu Gedung Wayang Orang



Lain dengan pertunjukan wayang purwa (wayang kulit) yang memakan durasi waktu yang panjang sehingga satu lakon bisa dimainkan dengan penuh makna, filosofi yang dalam serta improvisasi seorang dalang. Wayang Orang (WO) Sriwedari, sebagaimana WO yang lain dimainkan hanya 1,5 -2 jam saja. Mengingat durasi yang relatif pendek itu, tak cukup untuk mengekspresikan suatu lakon dengan makna yang lebih dalam. Dimana dalam suatu lakon itu, banyak sekali pelajaran yang bisa ditarik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tetapi bagi saya, inti menikmati pertunjukan WO bukan pada jalan ceritanya, itu nomor sekian lah. Bagi saya menikmati wayang wong adalah menikmati sebuah cerita pewayangan yang dilakukan dengan gerak tarian yang menawan dipadu iringan karawitan yang memukau. Melihat perpaduan gerak penari yang lemah gemulai diiringi suara gamelan yang menawan berpadu menentramkan hati untuk sejenak, seakan terbawa pada kedamaian di masa lalu, kedamaian dimasa dinasti raja-raja Mangkunegaran, pencipta WO.

Terakhir kali nonton WO Sriwedari lebih dari tiga tahun lalu situasinya sama tapi juga amat berbeda dari malam minggu kemarin. Gedung masih sama, dekorasi dan tata ruang panggung masih sama, lighting juga waktu itu sudah sama bagusnya dengan kemarin itu. Yang membuat saya cukup takjub adalah jumlah penonton jauh berlipat-lipat.

Seingat saya, sampai saat terakhir kali menonton di 2008, jumlah penonton bisa dihitung dengan jari kaki plus jari tangan, yaa antara 20-30 orang yang lebih banyak kursi diisi para orang tua . Padahal itung-itungan saya jumlah pemain dan kru dalam setiap pentas reguler (setiap hari kecuali malam senin) bisa lebih banyak dari itu. Hitung saja para Niyogo (penabuh gamelan) sekitar 10 orang, pemain wayang sekitar 15-25 orang. Belum lagi bagian tiket, juru rias dan petugas kebersihan. Waktu itu saya berpikir, kalo para orang tua itu akhirnya sudah tidak ada, kira-kira masih adakah yang menonton WO? Trus, hasil jual tiket, apakah cukup untuk bayar gaji para pemainnya? Untuk membeli make up nya saja mungkin sudah tekor.

Memang dalam momen-momen tertentu jumlah penonton bisa menjadi sangat banyak, misalkan ada bintang tamu pelawak top atau pesohor lain. Penonton juga relatif banyak kalo gedung itu di carter oleh perkumpulan massa, ormas, institusi atau pejabat yang pemainnya adalah gabungan pemain WO dan pejabat-pejabat ormas/institusi itu. Tentu saja yang menonton juga anggota/simpatisan ormas/organisasi/institusi itu. Plus daya tarik doorprize.

Itu kalau ada momen, tapi setelah itu jumlah penonton rutin tetap saja antara 20-30-an manusia. Padahal waktu itu keprihatinan jumlah penonton WO sudah sering dilontarkan para tokoh budaya setempat. Back up dari pemkot juga waktu itu sudah baik. Ditambah lagi gedung yang kokoh dan lumayan baik, konon hasil bantuan dari jepang.


Tetapi malam itu penonton memang ramai. Saya menghitung sekitar 300-350 orang. Saya mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa ada lonjakan jumlah penonton.

Kemungkinan pertama adalah tiket yang dijual Rp 3000 rupiah, luar biasa murah. Setidaknya bila dibandingkan harga tiket bioskop 21 di Mall setempat yang 7 kali lipat lebih mahal. Harga itu saya ingat tidak berubah ketika saya datang tiga tahun ago. Kelebihannya, kita bisa memesan bakso atau wedang ronde ke PKL yang ada diluar gedung. Tinggal sebut nomor deret bangku, abang tukang bakso, mie ayam atau wedang ronde siap mengantarkannya. Membawa makan dan minum sama sekali tak dilarang digedung wo yang megah dan ber-AC itu.


Harga tiket yang terlampau murah itu jelas tak akan memberatkan pecinta WO dari golongan keluarga dengan pendapatan kapita terendah di kota solo.


Kemungkinan kedua,

Saya saksikan pertunjukan wo kali ini lebih memperbanyak unsur humor dan horor. Selama ini, adanya unsur humor atau komedi tampil pada saat adegan goro-goro (semar, gareng, petruk dan bagong). Sedangkan saat itu hampir setiap adegan ada unsur lucunya, mulai dari saat kresna meledek Bima, saat perang tanding, atau saat adegan Permadi merayu sembadra. Selain unsur humor, juga ditambahkan situasi horor (didukung tata suara dan tata cahaya).

Para pemain wayang orang sriwedari adalah para pemain profesional yang sudah sering manggung dipentas-pentas nasional dan LN, saya lihat sebagian adalah jebolan ISI Surakarta, sebgian adalah PNS dan sebagian dibayar gajinya oleh pemerintah kota. Jadi, mereka main tanpa beban ‘susahnya jadi seniman tradisional’. Efeknya, menjadi pemain wayang orang adalah salah satu profesi yang diidam-idamkan para lulusan sekolah seni di solo baik itu ISI, atau SMKI. Efek itu juga dapat dibandingkan dengan komposisi pemain yang sudah seimbang antara pria dan wanita. Tiga tahun lalu, beberapa tokoh wayang pria, dimainkan oleh pemain wanita. Tokoh yang seharusnya dimainkan oleh gadis muda yang langsing dan gemulai dimainkan oleh pemain yang sudah berumur. Mungkin terbatasnya komposisi pemain waktu itu yang memaksa keadaan itu.


Kemungkinan ketiga,

Kesadaran yang meningkat dari warga kota solo dan sekitarnya sebagai akibat promosi yang semakin gencar dilakukan. Adanya turis-turis asing (bukan pelajar asing yang mempelajari budaya di Solo) yang menonton (walau tak sampai selesai) menandakan bahwa WO sudah masuk dari paket-paket wisata alternatif yang ditawarkan bagi wisatawan yang ingin melihat geliat Solo di waktu Malam.


Andai saja kemungkinan-kemungkinan itu memang benar adanya, saya rasa tak perlu lagi khawatir budaya Jawa yang adiluhung ini akan kehilangan pengikutnya.



Oktober 2011

Komentar

Postingan Populer