TA’JILAN DI GEREJA, Toleransi yang salah kaprah?

TA’JILAN DI GEREJA,
Toleransi yang salah kaprah?

(By: M. Aris Nurcholis)

Beberapa hari lalu diberitakan aparat kepolisian Kota Surakarta membubarkan/ menghentikan kegiatan buka bersama yang diselenggarakan sebuah gereja di kawasan Manahan, Solo. Tindakan kepolisian ini diambil untuk menghindari ketegangan dan keresahan antar umat beragama khususnya pemeluk Islam-Kristen sebagai akibat di blow-up nya oleh media massa kegiatan yang telah berlangsung selama beberapa tahun itu. Sejumlah pihak dan ormas Islam mendukung langkah kepolisian ini, walaupun tidak sedikit yang menentang dengan dalih melanggar HAM. Bahkan beberapa hari yang lalu beberapa organisasi gereja dan ormas Islam berkumpul secara khusus, menyayangkan tindakan yang diangap telah melanggar HAM itu. Mereka beralasan bahwa kegiatan yang bertujuan membantu memberikan buka puasa bagi fakir miskin di sekitar gereja adalah hak setiap warga Negara.
Bagi kaum Muslim, Puasa adalah Ibadah mahdhoh atau ibadah khusus yang diatur secara khusus tuntunannya dalam al-Quran dan Hadist. Puasa adalah salah satu sendi dasar Islam dam merupakan Rukun ke-3 dari Rukun Islam selain Syahadat, Sholat, Zakat dan Haji. Berbeda dengan sifat Jenis Ibadah Muamalah yang pelaksanaannya terbuka untuk dilakukan inovasi sesuai perkembangan masyarakat karena sifatnya yang umum. Aturan Puasa Ibadah Mahdhoh dicantumkan secara ketat di dalam al-Quran dan Hadist. Mulai dari waktu mulainya, waktu berbuka, hal-hal yang boleh dan tidak boleh saat berpuasa, sampai amalan-amalan sunnah yang menyertai ibadah puasa itu.
Masjid-masjid dan kaum muslim yang mengadakan acara buka bersama biasanya disertai dengan kegiatan keagamaan semacam tadarus, ceramah dan shalat maghrib berjamaah sebagai rangkaiannya. Motivasi memberikan buka kepada orang berpuasa karena pahalanya sama dengan orang yang berpuasa, pahala itu akan semakin berlipat bila dikerjakan di bulan Ramadhan.
Maka, sangat sulit dibayangkan apabila suatu acara buka bersama diadakan oleh pengurus gereja di dalam komplek sebuah gereja. Tidak ada lantunan ayat suci Al-Quran, tidak ada ceramah keislaman, doa bersama buka puasa, apalagi sholat Maghrib bareng-bareng.
Belum lagi apakah makanan yang disajikan 100% halal baik materi makanan maupun asal muasal dana untuk mengolah makanan itu. Motivasi pemberian buka bersama itu pun di pertanyakan. Seandainya berniat mengadakan bakti sosial, kenapa acara itu tidak dinamakan bakti sosial saja, atau di beri istilah makan gratis fakir-miskin, atau istilah-istilah lain yang tidak ada hubungannya dengan ibadah puasa. Atau mungkin panitia pihak gereja bisa bekerja sama dengan umat Islam disekitar tempat itu untuk mengolahkan makanan atau memberikan isian materi keislaman dan tempatnya bukan di gereja? Suatu tempat yang oleh sebagian kaum Muslim dianggap haram untuk memasukinya?
Kegiatan itu bagi sebagian golongan umat Islam Solo telah memberikan tamparan keras dimana dengan adanya blow-up media mereka merasa dipermalukan karena dikesankan tidak mampu memberi makan kepada saudaranya sendiri yang sedang membutuhkan. Dan tiba-tiba ada malaikat penolong dari agama lain bisa memberikan bantuan jauh lebih baik dari mereka. Padahal belum tentu begitu kenyataannya. Masjid-masjid, kelompok-kelompok masyarakat dan perorangan yang memberi buka puasa gratis seperti tidak ada artinya dengan adanya blow-up media itu.

Selama puluhan tahun, kota Solo telah menunjukkan tingkat toleransi keagamaan yang sangat baik. Jarang sekali didengar, ada ketegangan antar umat beragama (Islam-Kristen) di Kota Solo ini. Padahal prosentase umat Islam di Solo Cuma kurang lebih 70%, jauh dibawah prosentase umat Islam di kebanyakan kota/kabupaten di Indonesia. Konflik dan kerusuhan yang sering terjadi nyaris tidak ada yang disebabkan karena isu beda agama. Itu sebabnya berbondong-bondong para peneliti dari dalam dan luar negeri datang untuk meneliti keunikan kota yang pada masa revolusi berjuluk kota yang tak pernah tidur ini.

Patutlah kita memberikan apresiasi kepada mereka yang mengadakan kegiatan buka bersama walaupun agamanya lain. Kegiatan itu menunjukkan sikap toleransi yang baik di sebuah kota yang multi etnis dan agama seperti kota Solo. Tetapi toleransi yang salah kaprah malahan bisa dianggap menyesatkan dan membahayakan substansi toleransi beragama itu sendiri. Toleransi adalah sikap saling menghormati keyakinan dan saling menghormati dalam interaksi sehari-hari tanpa intervensi satu agama atas agama lainnya. Bagi umat Islam, toleransi bahkan sangat dianjurkan, tetapi toleransi tidak boleh sampai merusak aqidah pemeluknya masing-masing. Para pemuka agama Islam kota Solo sepertinya sudah paham betul strategi mereka dan tidak mau gelombang pemurtadan massal yang pernah terjadi diera tahun 60-an sampai 80-an terjadi kembali hanya karena iming-iming pemberian makanan.

Wallahu’alam bishowab.

Selengkapnya lihat di www.arisnurcholis.blogspot.com

Komentar

Postingan Populer